Meraih Kedekatan dengan Rasul
MESKI jarak waktu yang tidak kurang dari 15 abad menjadi pemisah antara kehidupan kita saat ini dengan kehidupan di masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam, namun beliau tidak menutup pintu dan kesempatan bagi siapa saja untuk bisa memperoleh kedudukan yang dekat dengan beliau pada hari kiamat.
Ada empat hal yang harus kita lakukan untuk meraih kedudukan yang dekat dengan beliau.
Pertama, memperbanyak membaca shalawat. Membaca shalawat kepada nabi merupakan suatu amalan yang istimewa. Keistimewaan itu nampak dengan keikutsertaan Allah dan para Malaikat-Nya untuk turut membacanya. (QS. Al-Ahzab : 56).
Dalam sabdanya, Nabi mengatakan, “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali shalawat dengan penuh ikhlas dari lubuk hatinya,” maka kata nabi ada empat keistimewaan pada orang tersebut. Yaitu, “1. Allah memberikan sepuluh rahmat 2. Mengangkat derajatnya hingga sepuluh derajat 3. Menuliskan sepuluh kebaikan untuknya 4. Menghapus sepuluh dosa keburukannya.” (HR. Bukhari, Nasa`i dan Al Bazzar).
Ketika kita banyak membaca shalawat, kans untuk mendapatkan tempat terhormat, bersanding, dan duduk di dekat Rasululah pada hari kiamat, sangat terbuka lebar. “Sesungguhnya orang yang paling terdekat (utama) kepadaku nanti pada hari kiamat adalah siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku,” sabda Nabi yang diriwayatkan Imam Tumrudzi.
Kedua, mengasuh dan mengasihi anak-anak yatim. Berbuat baik terhadap anak yatim/piatu bukanlah sekadar turut membantu menyelesaikan lapar dan dahaga sosialnya. Tetapi, di sisi lain perbuatan itu merasuk ke dalam batin, menenteramkan hati, dan mendamaikan perasaan orang yang memberi perhatian kepada mereka.
Amalan ini melahirkan anugerah di hari akhir, yaitu tempat duduknya dekat dengan tempat duduknya Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Nabi sendiri memberikan garansi soal yang satu ini. “Aku dan orang yang mengurus anak yatim di surga bagaikan ini (beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya lalu merenggangkannya).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Inilah amalan kedua untuk membuat kavling kita di hari akhir dekat dengan kavling Baginda Nabi Muhammad Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Oleh karena itu, siapapun yang menginginkan kedudukan mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya, amalan kedua mutlak untuk diamalkan. Caranya, dengan mengasuh, mengasihi, dan memberikan perhatian serta bantuan semampu kita. Jangan menunggu pada momen-momen tertentu saja seperti bulan Muharram atau Ramadhan, namun setiap waktu kita menyempatkan diri untuk berbagi dengan mereka.
Ketiga, penguasa atau pemimpin yang adil, arif, dan bijaksana. Ketika diangkat menjadi khalifah, Sayidina Umar bin Abdul Aziz mendatangi beberapa ulama untuk meminta nasihat.
Salah satu ulama tersebut, Sayidina Hasan Al Bashri, menasihatinya seperti ini, “Anggaplah rakyat seperti ayahmu, saudaramu, dan anakmu. Berbaktilah kepada mereka seperti engkau berbakti pada ayahmu, peliharalah hubungan baik dengan mereka seperti dengan saudaramu, dan sayangilah mereka seperti engkau menyayangi anakmu.” Nasihat ini diingat dan dijalankan dengan baik oleh Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul Aziz khalifah terkenal dengan kehati-hatiannya dalam mengggunakan harta milik rakyatnya, sampai-sampai beliau pernah menutup hidung saat melintas di Baitul Maal yang kala itu sedang merebak bau harum kesturi di sana.
Seorang petugas Baitul Maal terheran-heran dan bertanya, “Wahai khalifah, kenapa engkau menutup hidungmu?” Umar bin Abdul Aziz menjawab, "Aku tak mau memakan harta rakyatku sedikit pun, walau hanya dengan menghirup harum kesturi ini.”
Oleh karenanya, harus ada kesadaran dari seorang pemimpin untuk bersikap adil dan amanat dalam menjalankan roda kepemimpinanya, tidak berat sebelah, memperlakukan masyarakat yang ia pimpin dengan sejajar, tidak timpang, dan tentunya mampu mengangkat kesejahteraan hidup mereka.
Pemimpin yang ideal berarti pemimpin yang adil. Keadilan seorang pemimpin diganjar dengan beragam jaminan. Di antaranya, ia akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat. Selain jaminan naungan, kedudukan seorang pemimpin yang bijaksana adalah memperoleh kedekatan posisi dengan Allah sekaligus Rasul-Nya. Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. bersabda, “Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan tempat duduknya dekat dengan-Nya adalah imam (pemimpin) yang adil.” (HR. Turmudzi).
Perbuatan berikutnya atau keempat yang akan membuat kita memiliki kedudukan dan posisi yang dekat dengan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah mempunyai perangai mulia. Selain membaca shalawat, mengasihi anak-anak yatim, dan menjadi pemimpin yang adil, menghiasi diri dengan keluhuran akhlak dapat menjadi jembatan menuju posisi yang rapat dengan Nabi.
Nabi menegaskan dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Asakir. “Orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku kedudukannya di surga adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang paling aku benci adalah orang-orang yang pongah, sombong, dan takabur.”
Berkat akhlak yang mulia, ada seorang tawanan yang selamat dari pemenggalan. Dalam kitab Kanzul Ummal, disebutkan bahwa Rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memenggal tujuh tawanan yang berhasil ditangkap oleh pasukan Islam. Tidak lama setelah turun perintah Nabi, datanglah Malaikat Jibril menemui Rasul, lalu berkata, “Hai Muhammad, penggallah leher yang enam, tetapi jangan penggal leher kepala yang ini.”
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam bertanya, “Wahai Jibril, mengapa?” Jibril menjawab, “Ia orang yang berakhlak baik, dermawan, dan senang membagi makanan.” Rasulullah bertanya, “Hai Jibril, apakah ini datang darimu atau Tuhanmu?” Jibril berkata, “Tuhanku memerintahkan aku untuk itu.”
Islam menjadikan akhlak sebagai ukuran kesempurnaan agama seseorang. Artinya, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mesti menunjukkan akhlak dalam kesehariannya. Baik di jalan, pada saat berkendara, di rumah, saat makan dan minum, di kantor, kampus, di mananpun, ia akan mendahulukan akhlak.
Diutusnya Nabi ke muka bumi membawa misi menyempurnakan akhlak. Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, “Ya Rasul, apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, “Akhlak yang baik.”
Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Beliau bersabda, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dari sebelah kirinya, “Apa agama itu?” Beliau menjawab, “Akhlak yang baik.”
Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dari belakang dan bertanya, “Apa agama itu?” Rasululah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? (Agama itu akhlak yang baik) Sebagai missal, janganlah engkau marah.”
Momentum peringatan maulid sangat pas dijadikan ajang introspeksi diri apakah selama ini diri kita sudah benar-benar menedalani akhlak Nabi? Ataukah ada yang salah pada diri kita dalam memperingati kelahiran Nabi, sehingga kita melupakan ajaran ajaran adi luhung yang telah dipraktekkan oleh beliau selama hayatnya?
Kelahiran Nabi seharusnya tidak hanya diperingati dengan peringatan yang sekadar tradisi yang terulang di tiap musim, setiap tahun sekali. Namun ia merupakan tradisi yang diadakan sebagai alat menghidupkan ajaran nabi di rumah kita, masyarakat kita, tempat kita bekerja. Apalah artinya memperingati maulid tanpa ada keseriusan menghayati dan membumikan perangai kesantunan dalam kehidupan. Wallahu A`lam Bis Shawab.*
Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang
Ada empat hal yang harus kita lakukan untuk meraih kedudukan yang dekat dengan beliau.
Pertama, memperbanyak membaca shalawat. Membaca shalawat kepada nabi merupakan suatu amalan yang istimewa. Keistimewaan itu nampak dengan keikutsertaan Allah dan para Malaikat-Nya untuk turut membacanya. (QS. Al-Ahzab : 56).
Dalam sabdanya, Nabi mengatakan, “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali shalawat dengan penuh ikhlas dari lubuk hatinya,” maka kata nabi ada empat keistimewaan pada orang tersebut. Yaitu, “1. Allah memberikan sepuluh rahmat 2. Mengangkat derajatnya hingga sepuluh derajat 3. Menuliskan sepuluh kebaikan untuknya 4. Menghapus sepuluh dosa keburukannya.” (HR. Bukhari, Nasa`i dan Al Bazzar).
Ketika kita banyak membaca shalawat, kans untuk mendapatkan tempat terhormat, bersanding, dan duduk di dekat Rasululah pada hari kiamat, sangat terbuka lebar. “Sesungguhnya orang yang paling terdekat (utama) kepadaku nanti pada hari kiamat adalah siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku,” sabda Nabi yang diriwayatkan Imam Tumrudzi.
Kedua, mengasuh dan mengasihi anak-anak yatim. Berbuat baik terhadap anak yatim/piatu bukanlah sekadar turut membantu menyelesaikan lapar dan dahaga sosialnya. Tetapi, di sisi lain perbuatan itu merasuk ke dalam batin, menenteramkan hati, dan mendamaikan perasaan orang yang memberi perhatian kepada mereka.
Amalan ini melahirkan anugerah di hari akhir, yaitu tempat duduknya dekat dengan tempat duduknya Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Nabi sendiri memberikan garansi soal yang satu ini. “Aku dan orang yang mengurus anak yatim di surga bagaikan ini (beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya lalu merenggangkannya).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Inilah amalan kedua untuk membuat kavling kita di hari akhir dekat dengan kavling Baginda Nabi Muhammad Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Oleh karena itu, siapapun yang menginginkan kedudukan mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya, amalan kedua mutlak untuk diamalkan. Caranya, dengan mengasuh, mengasihi, dan memberikan perhatian serta bantuan semampu kita. Jangan menunggu pada momen-momen tertentu saja seperti bulan Muharram atau Ramadhan, namun setiap waktu kita menyempatkan diri untuk berbagi dengan mereka.
Ketiga, penguasa atau pemimpin yang adil, arif, dan bijaksana. Ketika diangkat menjadi khalifah, Sayidina Umar bin Abdul Aziz mendatangi beberapa ulama untuk meminta nasihat.
Salah satu ulama tersebut, Sayidina Hasan Al Bashri, menasihatinya seperti ini, “Anggaplah rakyat seperti ayahmu, saudaramu, dan anakmu. Berbaktilah kepada mereka seperti engkau berbakti pada ayahmu, peliharalah hubungan baik dengan mereka seperti dengan saudaramu, dan sayangilah mereka seperti engkau menyayangi anakmu.” Nasihat ini diingat dan dijalankan dengan baik oleh Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul Aziz khalifah terkenal dengan kehati-hatiannya dalam mengggunakan harta milik rakyatnya, sampai-sampai beliau pernah menutup hidung saat melintas di Baitul Maal yang kala itu sedang merebak bau harum kesturi di sana.
Seorang petugas Baitul Maal terheran-heran dan bertanya, “Wahai khalifah, kenapa engkau menutup hidungmu?” Umar bin Abdul Aziz menjawab, "Aku tak mau memakan harta rakyatku sedikit pun, walau hanya dengan menghirup harum kesturi ini.”
Oleh karenanya, harus ada kesadaran dari seorang pemimpin untuk bersikap adil dan amanat dalam menjalankan roda kepemimpinanya, tidak berat sebelah, memperlakukan masyarakat yang ia pimpin dengan sejajar, tidak timpang, dan tentunya mampu mengangkat kesejahteraan hidup mereka.
Pemimpin yang ideal berarti pemimpin yang adil. Keadilan seorang pemimpin diganjar dengan beragam jaminan. Di antaranya, ia akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat. Selain jaminan naungan, kedudukan seorang pemimpin yang bijaksana adalah memperoleh kedekatan posisi dengan Allah sekaligus Rasul-Nya. Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. bersabda, “Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan tempat duduknya dekat dengan-Nya adalah imam (pemimpin) yang adil.” (HR. Turmudzi).
Perbuatan berikutnya atau keempat yang akan membuat kita memiliki kedudukan dan posisi yang dekat dengan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah mempunyai perangai mulia. Selain membaca shalawat, mengasihi anak-anak yatim, dan menjadi pemimpin yang adil, menghiasi diri dengan keluhuran akhlak dapat menjadi jembatan menuju posisi yang rapat dengan Nabi.
Nabi menegaskan dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Asakir. “Orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku kedudukannya di surga adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang paling aku benci adalah orang-orang yang pongah, sombong, dan takabur.”
Berkat akhlak yang mulia, ada seorang tawanan yang selamat dari pemenggalan. Dalam kitab Kanzul Ummal, disebutkan bahwa Rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memenggal tujuh tawanan yang berhasil ditangkap oleh pasukan Islam. Tidak lama setelah turun perintah Nabi, datanglah Malaikat Jibril menemui Rasul, lalu berkata, “Hai Muhammad, penggallah leher yang enam, tetapi jangan penggal leher kepala yang ini.”
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam bertanya, “Wahai Jibril, mengapa?” Jibril menjawab, “Ia orang yang berakhlak baik, dermawan, dan senang membagi makanan.” Rasulullah bertanya, “Hai Jibril, apakah ini datang darimu atau Tuhanmu?” Jibril berkata, “Tuhanku memerintahkan aku untuk itu.”
Islam menjadikan akhlak sebagai ukuran kesempurnaan agama seseorang. Artinya, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mesti menunjukkan akhlak dalam kesehariannya. Baik di jalan, pada saat berkendara, di rumah, saat makan dan minum, di kantor, kampus, di mananpun, ia akan mendahulukan akhlak.
Diutusnya Nabi ke muka bumi membawa misi menyempurnakan akhlak. Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, “Ya Rasul, apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, “Akhlak yang baik.”
Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Beliau bersabda, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dari sebelah kirinya, “Apa agama itu?” Beliau menjawab, “Akhlak yang baik.”
Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dari belakang dan bertanya, “Apa agama itu?” Rasululah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? (Agama itu akhlak yang baik) Sebagai missal, janganlah engkau marah.”
Momentum peringatan maulid sangat pas dijadikan ajang introspeksi diri apakah selama ini diri kita sudah benar-benar menedalani akhlak Nabi? Ataukah ada yang salah pada diri kita dalam memperingati kelahiran Nabi, sehingga kita melupakan ajaran ajaran adi luhung yang telah dipraktekkan oleh beliau selama hayatnya?
Kelahiran Nabi seharusnya tidak hanya diperingati dengan peringatan yang sekadar tradisi yang terulang di tiap musim, setiap tahun sekali. Namun ia merupakan tradisi yang diadakan sebagai alat menghidupkan ajaran nabi di rumah kita, masyarakat kita, tempat kita bekerja. Apalah artinya memperingati maulid tanpa ada keseriusan menghayati dan membumikan perangai kesantunan dalam kehidupan. Wallahu A`lam Bis Shawab.*
Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang
Category: Islam, Kisah Sejarah