Tak Ada Kamus Istirahat Mendakwahkan Islam
SIAPA saja yang mau menelaah Al-Qur’an secara jeli, pasti akan menemukan peringatan Allah Subhanahu Wata’ala tentang “kebencian” dan “ketakutan” kaum kafir terhadap Islam (islamophobia). Bentuk kebencian ini tidak akan pernah berakhir dan akan terus berulang dan berulang hingga yaumul qiyamah. Kebencian itu begitu mendalam. Sebagaimana saat ini, ketika Islam saat ini benar-benar menjadi bulan-bulanan mereka. Islam “diserang” dari berbagai sudut dan dari segala penjuru.

Islamophobia itu sudah diramalkan oleh Rasulullah sejak beliau masih hidup. Umat Islam memang akan menjadi sasaran yang tak habis-habisan.

Rasulullah meramalkan, “Hampir tiba saatnya persatuan bangsa-bangsa memperebutkan atas kamu sekalian sebagaimana bersatunya orang-orang yang berebut makanan yang ada dalam nampan. Seorang sahabat bertanya Apakah karena sedikitnya jumlah kita pada sa'at itu Ya Rasulullah? Beliau bersabda: “Bahkan jumlah kalian saat itu sangat banyak, tetapi kalian bagaikan buih yang mengalir diatas lautan. Dan sungguh Allah Swt akan mencabut dari dada musuh–musuh kalian rasa takut terhadap kalian. Serta dia akan memunculkan penyakit al-wahnu dalam hati kalian. Seorang sahabat bertanya: “Ya Rasulullah apakah al-wahnu itu? Beliau menjawab, “Terlalu cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud, hadis Shahih: 4297).

Jika kita renungkan sabda Nabi di atas, akan jelas bahwa penyakit kebencian kepada Islam bukan saja memang sifat dasar mereka yang iri kepada agama yang mulia ini, tetapi juga karena penyakit yang diidap oleh kaum Muslimin sendiri. Penyakit itu namanya al-wahn, kata Rasulullah saw. “Terlalu cinta kepada dunia dan (akhirnya) takut mati.”

Bukti dari kronisnya penyakit al-wahn ini tampak dari perilaku umat Islam yang semakin hari semakin hedonis. Para pemimpin hidupnya begitu glamor. Zuhud tidak menjadi kamus sehari-hari. Sekali hidup, puas-puaskan lah menikmati dunia dan menumpuk harta-kekayaan. Maka wajar banyak pemimpin yang nota-bene Muslim tidak punya ‘gigi’ ketika berhadapan dengan kepentingan dan kebijakan Barat.

Padahal, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Ia hanya sikap memenej duniawi agar berada di tangan, bukan masuk ke dalam hati. Kalau sudah merasuk ke dalam hati, amat sulit untuk keluar. Itu yang menyebabkan banyak dari kita akhirnya “takut mati”, karena sudah menganggap dunia ini segala-galanya. Kondisi ini lah yang dijadikan sasaran empuk orang-orang yang sudah lama memendam benci terhadap Islam. Karena mereka tahu benar umat Islam sangat lemah di hadapan glamor duniawi.

Akibat terjangkitnya penyakit al-wahn itu, membuat musuh-musuh Islam tak lagi gentar berhadapan dengan kaum Muslim. Wibawa umat begitu hancur: luluh-lantakkan di hadapan hegemoni pemikiran, budaya, dan kepentingan mereka.

Dari Chechnya, Iraq, Libya, sampai Palestina, umat Islam seolah menjadi buruan. Alasannya sederhana: Iraq tidak demokratis, Chechnya memberontak, Libya presidennya otoriter dan Palestina dihuni “teroris” dan membahayakan kepentingan Israel dan Amerika. Padahal alasan dasar sesungguhnya bukanlah itu.  Yang benar, “Umat Islam memang harus dilenyapkan. Karena ajarannya menjadi batu sandungan kepentingan ideology lain, termasuk kepentingan Barat.”

Apakah pengalaman mahal belum bisa sadarkah kita akan kondisi ini?

Masih kah kita dininah-bobokkan oleh angan-angan tak berujung. Padahal dari kanan-kiri dan atas-bawah musuh Islam sudah merangsek masuk. Masuk ke jantung pertahanan umat Islam, hati. Hati kita dihabisi oleh dunia, yang perangkatnya dilahirkan dan disebarkan oleh Barat. Tapi sedikit dari kita yang menyadarinya. Memilukan sekaligus memilukan. Ironis, tapi realitas.

Kapan Mereka berhenti memerangi umat Islam? Tidak akan berhenti, kata Allah. jangan percaya kepada kata-kata manis mereka. Mereka hanya pintar ‘menanam tebu di bibir’. Untaian dan rajutan kata-kata mereka tak lebih dari lips service. Mereka pendusta. Di belakangnya banyak kepentingan. Jauh-jauh hari Allah sudah mengingatkan kita,

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ

“Kaum Yahudi dan Kristen tidak akan pernah ridha terhadap kalian, sampai kalian mau mengikuti millah mereka.” (Qs. al-Baqarah (2): 120).

Millah bukan hanya dimaknai sebagai “agama”. Ia adalah cara pandang (mindset), pandangan-hidup (worldview), budaya dan tradisi. Mereka bermimpi kalau ingin mengeluarkan kaum Muslimin dari Islam. Oleh karena itu, mereka mencoba minimal orang-orang Islam – meski tetap dalam agamanya – berprilaku tidak Islam. Ini yang paling penting. Dan sepertinya, di sini, mereka sudah meraup hasil.

Allah juga sudah mengingatkan kita dalam Firman-Nya, “Mereka akan terus memerangi kalian, sampai murtad dari agama kalian, jika mereka mampu melakukannya…” (Qs. al-Baqarah (2): 217).

Siang dan malam mereka memikirkan agar agama ini hancur. Begitu lah kegigihan mereka. Maka jangan mimpi mereka akan berhenti memerangi agama ini. Karenanya umat Islam harus bangkit dan berpikir lebih cerdas. Kaum Muslim harus bangun dan sadar dari “mabuknya”, agar dapat melihat dunia dengan nyata, bukan dalam alam mimpi.

Kasus film The Innocence of Muslims dan Kartun Nabi, hanyalah bukti kecil dari sekian panjang rantai pekerjaan mereka terhadap Islam. Dan yang penting dicatat bahwa rantai penistaan dan hujatan terhadap Islam, Al-Qur’an dan Allah tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun.

Maka, kata yang pantas untuk kita semua adalah; jangan ada lagi istilah dan kamus “istirahat” bagi siapa saja yang mengaku sebagai Muslim dan Mukmin untuk mendakwahkan Islam. Jika orang lain tidak pernah istirahat “memikirkan” kita, maka apakah pantas kita mengaku lelah, cape –apalagi-- cuek terhadap keadaan dan tantangan. Fa’tabiru ya ulil albab!. Qosim Nursheha Dzulhadi, penulis buku “Lezatnya Menuntut Ilmu: Begini Seharusnya Anda Menuntut Ilmu”. Mengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan
Beramal dengan Ikhlas Tanpa Syarat!
SETIAP amal perbuatan baik yang kita lakukan akan memperoleh imbalan sesuai dengan tingkat kesulitannya. Semakin berat amalan itu untuk dilakukan maka pahalanyapun semakin besar.  Karena pada sejatinya, saat kita berupaya secara maksimal untuk melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wata’ala, saat itu pulalah kita sedang melakukan pertempuran yang maha dahsyat dengan menghadapi hawa nafsu.

Hawa nafsu adalah musuh yang amat berbahaya, selain karena dia tidak tampak saat menyerang. Dan hawa nafsu memiliki ribuan cara untuk mengelabuhi kita agar terperosok dalam hasutannya, bahkan terkadang dia mengelabuhi kita dengan asupan pahala yang justru kemudian untuk menyesatkan kita.

Dalam menyikapi tentang bahaya hawa nafsu ini  Amirul Mukminm Ali bin Abi Thalib dalam Nahjul Balaghah nya berkata: “Sesungguhnya yang paling aku kuatirkan pada kalian adalah dua hal, yaitu taat hawa nafsu dan angan-angan panjang.”

Dan Allah pun memberi peringatan bagi kita tentang bahaya hawa nafsu dan konsekuensi bagi mereka yang terjebak dalam perangkap. Allah berfirman;

فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِي

“Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS:Al-Qashas:50].

Melihat sifatnya seperti itu, maka tidak ada cara lain kecuali melawan dengan keras hawa nafsu.

Pertanyaannya, kenapa hawa nafsu harus dilawan?

Pertanyaan seperti ini memang jarang terdengar di telinga kita namun sesungguhnya amat penting untuk dijawab. Di antara alasannya adalah karena hawa nafsu itu datang dengan tujuan untuk menjauhkan hamba dengan Tuhannya, memisahkan perbuatan baik dari hakikatnya, menyamarkan sesuatu yang keji dengan topeng kebaikan, dan bahkan menyamarkan nurani dengana logika. Itulah alasannya, kenapa Allah selalu menyebut hawa nafsu sebagai suatu yang nista dalam Al-Quran.

Diakui atau tidak, melawan hawa nafsu memang amat berat, bahkabn lebih berat daripada berperang melawan orang kafir di medan laga, begitulah Rosulullah menyampaikan kepada salah satu sahabatnya.

Namun meski demikian, merupakan kewajiban kita sebagai seorang hamba untuk selalu waspada agar setiap amal baik kita diterima oleh Allah. Karena seperti apapun jenis amal baik kita jika didalam nya ada unsur nafsu yang terkadang merasuk dan bahkan mengganggu terhadap kemurnian ibadah kita maka amal baik itu tak ubahnya menulis diatas kertas hitam dengan menggunakan tinta yang berwarna hitam pula. Hawa nafsu datang  dengan mengotori keikhlasan niat kita beramal baik, mengundang riya, sum’ah, takabbur dan seterusnya. Apa yang dihasilkan dari ibadah seperti itu? Tak ada lain terkecuali rasa capek.

Selanjutnya, dalam upaya melawan keberingasan nafsu ammaroh yang setiap kali datang mencampuri seriap perbuatan kita dalam segala aspek, kita dituntut untuk memurnikan niat kita dalam beribadah karena Allah, dalam Artian mengupayakan segala bentuk perbuatan sepnuh jiwa dan raga semata mata karena Allah. Dan inilah hakikat ibadah yang sebenarnya, yaitu saat seorang hamba mampu merefresentasikan amal baiknya dengan niat yang sebenarnya, sebagaimana Allah berfirman;

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus), dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.." (QS Al-Bayyinah: 5).

Dan dari niat inilah ukuran keikhlasan seorang hamba bisa diketahui. Sebagaimana rosulullah bersabda “Sesungguhnya segala seuatu itu tergantung pada niatnya.” (HR. Muslim)

Beramal itu mudah, ikhlas itu Sulit

Banyak orang beranggapan bahwa shalat itu berat, tapi sebenarnya yang lebih berat itu bukan melakukan shalat, tapi mengikhlaskan niat dalam shalat. Kenapa ini bisa terjadi? Jawabannya adalah bahwa orang yang melaksanakan shalat secara ikhlas maka dia akan mampu menikmati indahnya shalat secara sempurna, karena dia melakukan shalat dengan khusyu’. Tidak hanya berbentuk amal jasadiyah tapi juga qolbiyah.
Allah berfirman dalam Al-Quran;

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) berbakti, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqoroh : 44-46).

Begitulah Allah memberi tahukan kepada kita, bahwa berbuat baik itu memang mudah tapi memiliki niat yang baik karena Allah itulah yang amat sulit. Karena niat yang baik selalu dirongrongi oleh hawa nafsu, sehingga yang mulanya ikhlas kini menjadi riya. Dan ketahuilah bahwa riya’ adalah syirik kecil yang sangat ditakuti oleh Rosulullah.

Beramal baiklah sesuka hati, tapi ingatlah syaitan tidak akan menghalangi kita untuk melakukan kebaikan itu, justru dia datang dengan membawa rencana lain untuk kita lakukan.

Yang dia inginkan dari amal baik kita adalah terpisahnya antara amal baik itu dengan niat. Yang pada awalnya kita shalat karena Allah, kini berubah menjadi shalat karena orang lain. Bisa karena bos, karena martua, karena wanita dan karena karena yang lain.

Sekedar catatan,  untuk meminum racun tidak selamanya dibutuhkan “racun”. Sebab, madupun bisa menjadi “racun”, dan begitulah muslihat syaitan. Semoga Allah menjadikan hambanya yang taat dan ihlas karena-Nya.*/Mohammad Khotibul Umam
Karena Menentang Kebathilan, Kami Disebut Fanatik!
FANATIK! Sudah kenyang telinga kita mendengar kata itu. Itu bukan lagi hal yang menggelitik. Tak sekedar kritik. Namun menjadi sidang penghakiman sebuah 'kejahatan' bernama ghirah. Fanatik menjadi ketok vonis untuk menyudutkan umat Islam.  Nabi dihina, kita marah, dicap fanatik. Ada pemurtadan ditengah saudara-saudara seiman, tak boleh kita bersuara. Bersuara berarti fanatik. Malah kata Buya Hamka, ada yang berani berkata, “jangan disebut-sebut juga hukum Islam itu disini, negeri ini bukan negeri Islam. Negeri ini negeri Pancasila.” Kalau sebut-sebut hukum Islam, itu juga fanatik.   Semburan tuduhan fanatik itu bukan barang baru. Itu lagu usang yang diputar berulang-ulang. Tuduhan fanatik, kata KH Wahid Hasyim dalam “Mengapa Saya Memilih NU?” (1985),

“...timbulnya perkataan ta’asshub (fanatisme) di dalam kalangan Islam ialah setelah orang Barat,merasa tidak dapat menembus keteguhan pendirian umat Islam dengan cara hujjah, lalu menuduh ummat Islam adalah fanatik. “

Buya Hamka pun sejalan dengan beliau. Ia katakan, “Orang Barat menimbulkan kata fanatik, karena setelah mereka menancapkan penjajahan di negeri-negeri Islam, orang Islam itu melawan. Bergelimpangan bangkai mereka terhantar ditengah medan pertempuran, namun mereka masih tetap melawan. Dan meskipun telah beratus-ratus yang syahid , namun yang tinggal masih meneruskan perlawanan.”

Tuduhan fanatik oleh Barat, yang dikenakan pada orang Islam itu, menurutnya hanyalah akal-akalan, tipuan semata.

“Bukan mereka sendirikah yang fanatik terhadap kebiasaan, kepercayaan, untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka sungguh luar biasa sekali? Jadi tuduhan orang Barat melemparkan kata-kata fanatik kepada umat Islam semata-mata seperti siasat perang, mengadakan tembakan-tembakan pancingan, dan dengan demikian dapat diketahui mana-mana yang lemah,” tukas KH Wahid Hasyim.

Sayang, justru saat ini sebagian orang Islam suka memakan pancingan ini. Suka mewarisi pusaka tuduhan bernama fanatik ini. Mereka orang-orang yang tak lain menggadaikan imannya. Menukar akidahnya dengan gelar modern, progressif, toleran, atau semacamnya. Menggeser kiblatnya pada Barat.

“…golongan modern ini ma’mum pada orang-orang Barat. dengan pendirian yang teguh pula. Sebenarnya mereka ini juga fanatik, akan tetapi tidak pada Islam, hanya kepada orang-orang Barat. Akan tetapi mereka juga tidak suka dinamakan fanatik, dan menamakan dirinya,’ modern’, ‘progressif.” Begitulah sindir KH Wahid Hasyim.

Senada dengan Wahid Hasyim, menurut Buya Hamka, orang-orang ini adalah, “…orang yang ghirah agamanya sudah berkurang, yang tidak usah menyebut-nyebut lagi perbedaan halal dengan haram; lalu dia sudah sanggup berdiam diri saja melihat yang munkar menurut ajaran agamanya, dan dia pandai menyesuaiakan diri, barulah orang ini dapat pujian karena pandai menyesuaikan diri.” (Buya Hamka,  "Dari Hati ke Hati", Pustaka Panjimas).

Padahal, menurut KH Wahid Hasyim, orang yang memegang teguh pendirian dengan pengertian, bukanlah ta’assub (fanatik). “Tetapi yang demikian itu adalah kesatriaan dan memegang dengan perasaan tanggung jawab yang penuh. “

Lantas apakah kita sekarang masih mau menjadi kerbau yang dicocok hidungnya karena takut dituduh fanatik? Masih bangga menjadi pewaris pusaka penjajah dengan turut melemparkan kata fanatik?

Masih gamang terombang-ambing di lautan tuduhan fanatik?

“Bagaimana sekarang, wahai mereka yang disudut jiwanya masih ada sisa rasa tanggung jawab agama? Takutkah kalian dituduh fanatik? Kalau takut lebih baik berhenti jadi orang Islam. Lalu terima saja segala yang ada dalam kenyataan, dan jangan mulut mengatakan halal-haram,” tegas Buya Hamka.

Buya Hamka bahkan menyitir perintah Allah kepada Nabi Muhammad, “Katakanlah : Jikalau kamu memang mencintai Allah, hendaklah ikut aku,niscaya kamu akan dicintai Allah pula.” Selama kita mengikuti jalan Allah, pasti kita akan bersimpangan dengan mereka yang menentangnya. Mutlak akan bersinggungan dengan vonis fanatik.

“Sebab alat penuduh yang bernama fanatik itu masih tinggal dinegeri ini, untuk mengemplang kepala kita, (dengan) pusaka penjajah,” tukas Buya Hamka.

Buya Hamka kemudian menegaskan, “Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda adalah karena fanatik. Tengku Cik Ditiro melawan Belanda adalah karena fanatik, Pangeran Diponegoro melawan Belanda adalah karena fanatik. Semuanya adalah karena fanatik. Yang habis mati bertimbun mayat, menegakkan kemerdekaan adalah orang-orang fanatik. Kalau tak ada lagi orang-orang fanatik di negeri ini, maka segala sampah, segala kurap akan masuk kemari, tidak dapat ditahan-tahan. Sayangnya orang-orang yang mempertahankan yang munkar itulah sekarang yang dengan fanatik menantang tiap orang yang ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. “

Maka mari kita amini doa beliau;

“Ya Allah! Kalau lantaran karena cinta kepada-Mu dan Rasul-Mu, dan bercita-cita agar hukum-Mu, jalan dalam dunia ini; Kalau lantaran berani menentang segala yang bathil, kalau itu yang dikatakan fanatik, perdalamlah Ya Allah rasa fanatik itu dalam jiwa kami. Dan matikanlah kami dalam membuktikan cinta kepada Engkau!”

Penulis Zhilal Islam, pemerhati masalah sosiao-keagamaan, tinggal di Jakarta
Menjemput Rezeki yang Halal
SURI teladan yang sering kali luput dari pengamatan kita saat membahas sejarah kehidupan keluarga Nabi Ibrahim adalah usaha keras mereka dalam menjemput rezeki. Siti Hajar yang berlari ke sana ke mari untuk mencari air demi kelangsungan hidupnya dan hidup bayinya, Ismail yang meronta-ronta kehausan, memberi penjelasan kepada kita betapa gigihnya menjemput rezeki dari Allah itu.

Usaha keras Hajar yang tak mengenal lelah ini seperti sebuah kalimat, “banting tulang peras keringat.” Bukit Shofa dan Marwa menjadi saksi bisu yang menyejarah. Hasilnya, air zam-zam yang segar menyegarkan dihadiahkan oleh Allah yang bisa dinikmati sampai detik ini. Ikhtiyar Hajar dinobatkan menjadi bagian dalam prosesi ibadah haji. Yaitu Sa`i antara Shafa dan Marwah.

Allah sangat mencintai Hajar sebab selain merupakan pendamping setia nabi-Nya, ia telah membuktikan secara nyata tidak pernah lelah dan putus asa dalam menjemput rezeki, meski keadaan ketika itu tidak didukung sarana yang memadai. Tapi tidak sedikitpun menyurutkan langkahnya.

Hajar sadar bahwa rezeki seseorang sudah tersedia. Setiap orang telah diberi alokasi rezeki untuk membiayai hidup guna keperluan memasak, sekolah, membeli kebutuhan sandang, papan, dan pangan. Tidak ada satupun yang tidak mendapat bagian, bahkan hewan melata. Tinggal kemauan dan kerja keras disertai tawakkal kepada Allah-lah yang akan mendorong seseorang untuk bisa memperoleh rezeki dengan cara yang benar.

Ibarat anak yang kita sekolahkan lalu kita jemput pada saatnya, rezeki kita sudah Allah titipkan di pabrik, perkantoran, jalan-jalan, pertokoan, sawah, ladang, laut, dan sebagainya. Kembali kepada kemauan kuat untuk mendatangi lokasi rezeki dengan segenap kemampuan yang kita miliki.

Islam sangat menghargai seseorang yang bekerja dan memainkan peran sosial di tengah kehidupannya. Rasul SAW menempatkan bekerja sebagai salah satu amal perbuatan yang dapat menggugurkan dosa. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, Rasul menegaskan, “Sesungguhnya di antara dosa itu ada dosa yang tidak dapat dihapus oleh shalat, puasa, haji, dan umrah, tetapi dapat terhapus oleh lelahnya seseorang dalam mencari nafkah.”

Dalam hadits yang lain, dijelaskan bahwa Allah suka kepada seorang hamba yang memiliki karya, professional dalam bekerja, dan pekerja seperti ini tergolong sebagai seorang pejuang agama. (HR. Ahmad).

Dalam buku yang ditulis Aidh Al-Qarni, La Tahzan, disebutkan Umar bin Khattab menyatakan perang terhadap semua bentuk pengangguran, kemalasan, dan ketidakgiatan. Bahkan Umar bin Khattab pernah menarik keluar para pemuda yang diam di dalam masjid dan tidak melakukan apa-apa. Umar memukul mereka dan berkata, “Keluar kalian, cari rezeki. Langit tidak akan menurunkan emas dan perak.”

Alkisah, suatu waktu hari Rasul bertemu dengan Sa`ad bin Mu`adz Al-Anshari. Ketika itu Nabi Muhammad melihat tangan Sa`ad yang kulitnya gosong kehitam-hitaman dan melepuh seperti terpanggang matahari.

Sa`ad pun memperlihatkan tangannya kepada Sang Rasul. Rasul pun bertanya kepada Sa’ad, “Mengapa tanganmu?” “Wahai Rasulullah, jawab Sa`ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah halal bagi keluarga yang menjadi tanggunganku.”

Mendengar keterangan tersebut, Nabi mengambil tangan Sa`ad bin Mu`adz Al-Anshari dan menciumnya seraya bersabda, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka.”
Dari kisah tersebut, kita mesti meyakini tidak ada yang berlalu sia-sia dari tiap tetesan keringat yang kita seka karena lelah dan penat bekerja. Yakinlah, Allah sebagai Maha Pemberi Rezeki, yang telah menentukan rezeki, walau seseorang berdomisili di gurun pasir yang tandus.

Karena Allah telah berjanji;

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

“Tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS: Huud [11] : 06).

Dari kisah Sa`ad pula, kita bisa memetik hikmah, di tengah-tengah himpitan krisis di berbagai sektor,  bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat Sa`ad bin Mu`adz Al-Anshari guna menyegarkan dan menghidupkan bangsa ini, sehingga mampu mengembalikan identitas bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat di mata dunia. Karena selama ini, kita telah kehilangan jati diri sebagai bangsa besar, disebabkan pemimpin-pemimpinnya yang selalu berharap untuk mendapatkan bantuan dari bangsa lain. Hal ini mengakibatkan ketergantungan rakyatnya untuk senantiasa mendapatkan sesuatu tanpa didasari usaha. Bukankah bangsa ini sangat kaya dengan sumber daya alamnya? Ini adalah modal dasar yang telah kita miliki. Untuk itu, selanjutnya tinggal bagaimana kita mampu mengolahnya.

Apabila rezeki seseorang sudah dialokasikan secara tepat, pertanyannya kemudian untuk alasan apa seseorang melakukan tindakan pidana korupsi dalam proyek pengadaan alat Simulator, Wisma Atlet, Hambalang, bahkan dalam proyek pengadaan Al-Qur`an?

Uang rakyat yang begitu besar jumlahnya diambil tanpa hak untuk dinikmati segelintir orang. Padahal dirinya sudah hidup berkecukupan bahkan dapat dikata hidup dalam kelayakan di atas rata-rata orang-orang di sekitarnya. Bukankah rezeki yang sedikit tapi disyukuri jauh lebih baik daripada banyak namun dikufuri?

Berlari-lari antara Shafa dan Marwah yang dilakukan oleh Hajar menjadi simbol seorang hamba yang tidak ingin menadahkan tangan, meminta-minta atau mengemis kepada sesama makluk. Kerja keras sebagai usaha mewujudkan cita-cita menjadi skala prioritas, tanpa lupa untuk berbagi kepada sesama. Allah cinta kepada hambanya yang mau bekerja keras dengan penuh dedikasi demi meraih prestasi. Belajar dari Siti Hajar, belajar menjemput rezeki yang benar.*
Menjaga Keberkahan Waktu
TIDAK terasa tahun 1433 H akan segera berakhir. Esok, jika Allah Subhanahu Wata’ala masih memberi kita umur, kita berada di tahun baru, tepatnya tanggal 1 Muharram tahun 1434 H. Suka duka sudah banyak kita lewati dalam mengisi lembaran sejarah hidup pada tahun sebelumnya. Ada kebaikan yang sudah kita upayakan dan tak sedikit kesalahan yang terjadi.

Waktu berjalan begitu cepat. Waktu tidak pernah berhenti sejenak atau memberi kesempatan kepada umat manusia untuk beristirahat. Ia tetap berjalan mengikuti aliran takdir Tuhan.

Siapa yang tak sanggup mengatur waktunya, niscaya ia akan tergilas dalam nestapa. Dan barangsiapa yang mampu mengatur waktunya, ia akan tampil menawan sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyampaikan pemberitahuan tentang siapakah sosok yang beruntung, rugi, dan celaka. Ketiga sosok ini dihubungkan dengan efektifitas waktu.

Manakala seseorang beramal dengan lebih baik dari hari kemarin, ia beruntung. Jika sama, tidak lebih maupun kurang, ia rugi. Celakanya, jika lebih buruk dari sebelumnya.

Pada kesempatan lain, Rasulullah menyifatkan cepatnya perjalanan waktu kehidupan di dunia ini seperti perjalanan seorang musafir yang hanya berhenti sejenak di bawah pohon di tengah perjalanan yang amat panjang. Permasalahan terbesar kita adalah ketika kecepatan umur dan waktu hidup tidak sebanding dengan kegesitan kita dalam menyelamatkan diri dari penderitaan abadi di akhirat, karena perbuatan munkar yang kita lakukan.

Seseorang yang memanfaatkan waktu dengan baik pasti melihat hasilnya, baik secara lahir maupun batin, jasmani ataupun rohani. Orang yang melewatkan banyak waktunya dengan pergi ke sawah, misalnya, akan bisa terlihat dari warna kulit, cara berpakaian, dan perilakunya sehari-hari. Begitu pula dengan orang yang mengatur waktunya dengan baik.

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…” (QS: Al-Fath: 29).

Pengikut Rasulullah  memiliki nur (cahaya) karena rutinitas sujudnya kepada Allah. Keberkahan waktu dapat kita sadari ketika waktu yang singkat ini dapat menghasilkan banyak amal.

Banyak contoh yang bisa kita jadikan sebagai panutan.

Lihatlah Imam Nawawi, usianya sekitar empat puluh tahunan tapi ilmunya bermanfaat hingga detik ini, jutaan umat Islam mendulang keberkahan ilmunya lewat torehan karya-karya beliau semasa hidupnya yang singkat itu.

Ada pula contoh menarik. Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, begitu ketatnya beliau dalam mengatur waktu hingga dalam urusan makan dan minum dilakukannya dengan mencampur keduanya di sebuah tempat layaknya bubur. Beliau “terpaksa” melakukan hal ini karena khawatir waktunya terkuras sia-sia hanya gara-gara urusan makan dan minum. Sementara sisa waktunya yang lain beliau isi dengan belajar, berdzikir, dan beribadah kepada Allah.

Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad dalam bukunya “Risalah Al-Mu`awanah” mengatakan, “Tiap hembusan nafasmu adalah permata yang tak ternilai harganya, tidak ada duanya. Jika hilang ia tak akan kembali lagi selama-lamanya.”

Ungkapan ini mengajak kita untuk memakmurkan waktu dengan aneka kegiatan yang berasas manfaat, sehingga tiap saat yang berlalu bernilai tambah sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Pengaturan waktu yang efektif akan membuat hidup menjadi baik dan terhindar dari kesemerawutan.

Menurut Imam Abdullah Al Haddad, tanda orang yang tidak bisa istiqamah dalam sebuah perbuatan adalah ketika  ia sudah tidak lagi menghargai waktu. Jika kita menghargai waktu yang ada, pekerjaan duniawi akan mampu diselesaikan dengan memuaskan, lebih-lebih dalam urusan akhirat.

Ingatlah betapa sering kita membaca Al Quran sekenanya saja agar kemudian bisa melakukan kesenangan-kesenangan yang tidak ada kaitannya dengan kebaikan di sisi Allah. Ingatlah ketika usia yang sangat terbatas itu tidak berfungsi sebagai pelindung diri kita dari beratnya siksa Allah swt. Sadarilah tatkala kita tahu bahwa hembusan dan tarikan nafas  kita tak lagi berimbang dengan dengan upaya serta jihad kita untuk terhindar dari lubang kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala.

Lihatlah ayam dalam menjaga mutu waktu hidupnya dengan penuh kemanfaatan. Ia bangun sebelum azan sebelum berkumandang sebagai tamsil seorang hamba Allah yang tengah bersiap-siap melaksanakan shalat subuh, lalu ayam keluar dari kandangnya yang merupakan gambaran seseorang yang bekerja. Ayam juga tidak pernah risau dengan rezeki yang merupakan sikap tawakkalnya, seakan ia berkata, “Jika aku ditakdirkan hidup, berarti jatah rezekiku masih ada di hari esok.”

Waktu adalah umur kita

Waktu cepat berlalu. Mengalir tak pernah berhenti. Jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik, bergerak. Waktu tak dapat ditunda, tak dapat ditahan dan tak mungkin ada yang mampu mengulang. Itu artinya, usia kita pun berkurang. Kita semakin dekat ke liang lahat.

Waktu kita adalah adalah umur kita. Umur berjalan seiring dengan berlalunya waktu yang semakin berkurang dari hari ke hari, bahkan di tiap detik. Umur adalah modal kita, yang dari modal ini seharusnya kita dapat lebih memperoleh keuntungan dan daya guna. Umur yang bermanfaat akan menjadi jembatan menuju kenikmatan yang abadi.

Umur atau usia bisa kita andaikan dengan tiga botol. Botol pertama diisi minyak sebanyak botol tersebut. Botol kedua diisi minyak hanya setengahnya dan botol ketiga hanya diisi minyak seperempatnya. Setelah itu, ketiga botol yang masing-masing sudah diisi minyak dengan kadarnya masing-masing, dimanfaatkan sebagai lampu minyak.

Botol yang terisi seperempat minyak akan redup terlebih dahulu, kemudian botol yang terisi separuh, adapun botol terakhir yang terisi penuh paling lama menyala lampu minyaknya. Hal ini memberi pelajaran tentang ketidaktahuan kita apakah usia kita berhenti ‘menyala’ di usia tua? Saat dewasa atau justru ketika masih muda belia?

Oleh karena itu, jangan lewatkan umur dengan sia-sia. Mari bekerja keras untuk mencari pahala, meraih rahmat dan ampunan Allah Subhananu Wata’ala sebanyak-banyaknya, mulai sekarang juga.

Mari memperbanyak dzikir, sedekah, jihad, dan melakukan amal-amal shalih. Tak ada kata terlambat untuk melakukan kebajikan. Semoga Allah meneguhkan hati dan semangat kita untuk melakukan amal kebaikan.*

Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang

Al-Quds Memanggil Kita

إِنَّ الحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وُنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمْداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه.
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}
{يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا}
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا}

Kaum Muslimin yang Dirahmati Allah

Palestina kembali membara. Di tengah umat Islam Tanah Air memperingati Tahun Baru Hijriyah, Israel menggepur Gaza dengan ribuan rudal yang dilesakkan lewat pesawat bikinan Negara imprealis Amerika Serikat. Tak pelak korban sipil berguguran, terhitung sudah 100 jiwa lebih melayang akibat gempuran Israel yang tak berperikemanusiaan itu. Kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak, bahkan bayi sekalipun turut menjadi korban serangan biadab ini!

Seperti yang sudah-sudah dunia internasional tidak bisa berbuat apa-apa selain mengimbau dan mengutuk, termasuk Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diharap mampu menjadi mediator lagi-lagi seperti perang 2008-2009 silam, tidak bisa berbuat banyak.
Ketidakdilan dalam menyikapi dan memandang persoalan Palestina ini benar-benar terpampang jelas di pelupuk mata. Kekejaman dan kesewenang-wenangan teroris Israel besar kemungkinan masih akan berlanjut secara lebih massif.

Untuk itulah, ketika kita pada saat ini dapat melaksanakan ibadah, bekerja, dan beraktivitas dengan tenang dan damai, tidak boleh melupakan kegetiran dan duka lara yang tengah dirasakan oleh saudara-saudara kita di Palestina itu. Ingatlah bahwa persaudaraan di antara sesama umat Islam tidak mengenal batas-batas geografis. Di manapun seorang muslim berada, sementara ia dalam kondisi teraniaya, didzalimi, maka bagi saudara-saudaranya sesama Muslim berkewajiban untuk membantu dengan kemampuan yang dimilikinya. Pesan Syaikhul Jihad Ahmad Yasin, “Setiap kami adalah pemburu syahid. Aku dan saudara-saudaraku sekalian berusaha mencapai mati syahid. Hidup kami sebenarnya lebih murah daripada hidup setiap anak Palestina.. Seperti inilah jalan pembebasan. Tanpa darah yang mengalir, tak mungkin Palestina akan kembali…”

Kaum Muslimin yang Dimuliakan Allah Subhanahu Wata’ala

Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam bukunya An-Nashaih Ad-Diniyyah mencantumkan beberapa hadits tentang Hak Seorang Muslim Terhadap Muslim lainnya. Beberapa di antaranya, Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

“Barangsiapa yang melepaskan dari diri seorang Mukmin satu kesusahan di dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan bagi orang yang kesulitan niscaya Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat...” (HR. Muslim)

Dalam hadits yang lain, Rasul bersabda:

من لم يهتم بأمر المسلمين فليس منهم

“Barangsiapa yang tidak memikirkan urusan umat Islam berarti ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Hakim)

Nabi juga pernah mengatakan,

اِنَّ المُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كاَلبُنْياَنِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً

“Sesungguhnya seorang Mukmin bagi Mukmin lainnya ibarat bangunan yang saling menopang satu sama lain.”

Kaum Muslimin…

Khalid  Misy`al, salah satu pentolan Harakah Al-Muqawah Al-Ismaliyyah (Gerakan Perlawan Islam) atau Hamas, pernah mengatakan ada 5 langkah yang bisa dilakukan oleh umat Islam dalam mengatasi konflik antara teroris Israel dan Palestina.

Pertama, menanamkan dengan kuat dalam hati masing-masing tentang kewajiban mempertahankan Al-Quds. Al-Quds merupakan negeri para Nabi yang penuh keberkahan. Allah berfirman:

وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ اْلأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَاءِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَاكَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَاكَانُوا يَعْرِشُونَ )

“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka”. (QS. Al-A`raf [7] : 137).

Di dalam Al-Quds terdapat masjid yang menjadi kiblat pertama Umat Islam, namun kini kondisinya semakin mengenaskan. Pihak Zionis Israel semakin dahsyat melakukan yahudisasi kota Al-Quds dan tempat-tempat suci di dalamnya.

Kedua, secara konsisten memberi dukungan kepada perjuangan kemerdekaan Palestina.

Dukungan moral maupuan material akan memiliki dampak dan pengaruh besar dalam mengangkat semangat juang rakyat Palestina, utamanya dukungan dana yang memang sangat dibutuhkan mereka, akibat embargo dan pemenjaraan massal Israel sejak beberapa tahun silam, usai Hamas memenangkan Pemilu yang sesungguhnya berjalan sangat demokratis. Bantuan semacam ini bukan sekadar membantu Kaum Muslimin yang berjuang memerdekakan Tanah Airnya dari penjajahan Israel, lebih dari itu untuk melindungi Al-Aqsha dari kemukaran dan perusakan.

Jamaah Rahimakumullah

Langkah Ketiga, meningkatkan pemahaman tentang persoalan Palestina. Hal ini penting karena dengan meningkatkan pengetahuan seputar persoalan Palestina, kita ingin menunjukkan kepada Zionis Israel dan negara-negara Barat yang mendukung eksistensi entitas Israel bahwa kita adalah satu tubuh yang tidak akan pernah tinggal diam jika ada saudara kita di Bumi Para Nabi itu dan di mana saja, mengalami pengusikan dan pembantaian.

Selanjutnya, akan memberi pesan penting bahwa Rakyat Paletsina tidak berjuang sendirian, ada saudara-saudara mereka di luar Paletina yang siap lahir dan batin mengorbankan waktu, jiwa, dan raganya demi kemulian Islam dan kaum Muslimin.

Keempat, memberitakan peristiwa yang terjadi di Palestina. Media massa memiliki peran signifikan dalam menyiarkan ke khalayak apa yang tengah terjadi di sana. Dengan begitu, umat Islam bisa mengetahui duduk persoalan secara gamblang. Media massa baik cetak maupun elektronik, lebih-lebih berita lewat kanal di jagat dunia maya, sangat besar pengaruhnya dalam memberitakan aksi terorisme dan rasisme Zionis Israel.

Kelima, dan inilah yang terpenting adalah memanjatkan doa kepada Allah.

Doa adalah senjata ampuh seorang mukmin. Lewat panjatan doa setelah shalat, pada waktu melakukan Qiyamul Lail, pada saat turun hujan, dan di waktu-waktu mustajab lainnya, jangan lupa menyisipkan doa untuk kemenangan para Mujahidin, keselamatan untuk saudara-saudara kita baik wanitanya, anak-anaknya, orang tua-orang tuanya, maupun bagi para pejuang yang tengah berkiprah di medan jihad. Insya Allah, dengan doa jutaan umat Islam, Allah akan membukakan pintu kemenangan yang besar. Dan jangan lupa untuk melaksanakan Qunut Nazilah setiap kali kita menunaikan shalat berjamaah di masjid.

اللهمَّ انْصُرْ إخوانَنَا الْمُسْتَضْعَفِين في فِلِسْطِين  اللهمَّ انْصُرْ إخوانَنَا الْمُسْتَضْعَفِين في سورية اللهمَّ انْصُرْ إخوانَنَا الْمُسْتَضْعَفِين في روهينجيا  اللّهُمَّ انْصُرْ إخْوانَنَا الْمُجاهِدِين في فلسطينوا في سورية وا في روهينجيا   اللهم انصرهم نصراً مؤَزَّرَاً اللهم وَحِّدْ كَلِمَتَهُم وسَدِّدْ رَمْيَهُم وَأَنْزِلْ فِي قُلُوْبِهِم السَكِينةَ اللهم كن لهم وليّاً ونصيراً، اللهم أنهم مَظْلُومُون فَانْتَصِرْ لَهُمْ، إِنَّهُمْ فُقَرَاءُ فَأَغْنِهِمْ.اللّهُمَّ ارْحَمْ مَوْتَاهُمْ وَاشْفِ جُرْحَاهُمْ. وَتَقَبَّلْ شُهَدَاءَهُمْ، اللهمَّ أَيِّدْهُمْ بِتَأْيِيْدِكَ وَاحْفَظْهُمْ بِحِفْظِكَ يَا قَوِيُّ يَا عَزِيزُ

 وَصَلىَّ اللهُ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Penulis adalah pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang. Tulisan ini bisa digunakan para dai dan mubaligh sebagai bahan khutbah Jumat di masjid-masjid
Tanyakan Dirimu, untuk Apa Saja Waktu Engkau Gunakan?
DALAM Islam, waktu itu adalah amal sholih. Waktu itu bukanlah uang seperti kata sebuah adagium, time is money. Di sini, amal sholih menjadi tujuan utama, bukan materi. Bukan berarti Islam anti-uang. Akan tetapi yang lebih tepat kita katakan, uang/materi menjadi sarana untuk beramal sholih, bukan tujuan utama (big goal). Jika uang menjadi big goal, maka materialisme menjadi pemahaman kita. Adagium “time is money”, adalah prinsip kaum materialism.

Orang yang tidak memanfaatkan waktu-waktu luangnya, oleh al-Qur’an disebut sebagai orang yang merugi.

أَن تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَى علَى مَا فَرَّطتُ فِي جَنبِ اللَّهِ وَإِن كُنتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ ﴿٥٦

“Supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah).” (QS. Al-Zumar: 56).

Orang merugi adalah orang yang tidak memanfaatkan aktifitasnya untuk kehidupan abadi, yaitu hidup setelah mati. Betapa kita terlalu lalai memanfaatkan aktifitas mulya ini.

Berapa lama kita membaca al-Qur’an atau membaca buku-buku. Bandingkan dengan lamanya kita duduk di warung kopi dan trotoar jalan, sekedar ngobrol, ngerumpi dan menghabiskan waktu luang. Berapa jam kita menonton TV dan tidur. Bandingkan dengan lamanya kita beribadah. Berapa lama pula kita meeting bisnis, bandingkan dengan berapa lama kita duduk di majelis ilmu dan majelis-majelis mengingat Allah. Sungguh banyak waktu yang terlewat sia-sia.

Penyesalan dalam ayat tersebut karena lalai menunaikan kewajiban Allah dan memandang rendah agama Allah. Dua hal tersebut disebabkan waktu yang tidak dimanfaatkan dengan baik atau waktu luang digunakan untuk hal yang tidak baik.

Lebih berbahaya lagi jika waktu disia-siakan untuk mengerjakan perbuatan yang dimurkai-Nya. Jadi, dalam managemen waktu, ada dua pilihan; menyibukkan dengan kebenaran dan menyibukkan dengan perkara yang dimurkai. Waktu kosong yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berguna, pada akhirnya akan mengantarkan kepada kegiatan-kegiatan yang dimurkai.

Imam al-Syafi’i pernah mengatakan: “Jika Anda tidak menyibukkan diri anda dengan kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkan Anda dengan kebatilan.”

Oleh sebab itu, dalam pengisian waktu sesungguhnya terjadi pertempuran sengit antara setan dan hati kita. Hal yang paling penting untuk menjaga kehidupan kita adalah menyusun rencana-rencana dan program yang akan mengisi waktu. Dan tidak memberi sedikitpun celah kepada setan untuk ikut beraktifitas dalam sela-sela waktu kita.

Jika kebenaran yang menguasai celah-celah dalam waktu kita, maka ia akan membangkitkan potensi yang terpendam dalam diri manusia. Sebaliknya jika kebatilan jadi penguasa waktu, maka tunggulah kerusakannya.

Bagaimana belajar memangemen waktu? Bagi awam dan pelajar pemula, para ulama’ memberi petunjuk sederhana, yaitu mendisplinkan shalat tepat pada waktunya. Sesungguhnya amal ibadah yang efektif dalam mendidik disiplin waktu itu shalat jama’ah tepat pada waktunya.

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً

Allah berfirman: ”Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalatmu, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu. Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisa’: 103).

Disiplin shalat lima waktu bisa menjadi media pembelajaran memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kita bisa mendidik diri atau anak dan murid kita dengan ini. Sesudah shalat, diisi dengan dizikir dan membaca al-Qur’an.

Jika kita mampu mengatur waktu ini dimulai dengan disiplin shalat, maka lambat laun ibadah-ibadah lainya akan tertunaikan dengan disiplin. Inilah yang disebut Allah sebagai orang yang tidak merugi.

Allah Subhanahu Wata’ala menyebutkan sifat-sifat orang yang beruntung, yaitu mereka yang mampu menjaga waktunya dengan beriman dan beramal sholeh.

وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih serta saling menasihati supaya mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS: Al-‘Ashr: 1-3).

Dalam ayat ini kita bisa menarik pelajaran penting mengenai waktu. Yaitu isilah waktu itu dengan empat hal; menjaga iman, mengerjakan amal sholih, menasihati dalam kebenaran dan menasihati dalam kesabaran.

Tidaklah Iman itu akan bisa menjadi benar kecuali dengan ilmu. Karena ilmu merupakan cabang dari iman tersebut dan tidak sempurna iman seseorang kecuali jika dia memiliki ilmu. Oleh karenanya, mengisi waktu luang dengan menambah ilmu itu sangat mulia.

Amal sholeh yang mencakup semua kebaikan, mulai dari kebaikan yang bersifat dzahir hingga kebaikan yang bersifat bathin, dimana hal itu berkaitan dengan hak-hak Allah dan hak-hak hambanya baik hal-hal yang hukumnya bersifat wajib ataupun yang bersifat anjuran.

Aktifitas lain yang penting adalah saling menasehati dalam hal kebenaran dan kesabaran. Ketika sedang ngobrol dan duduk-duduk santai, alangkah baiknya digunakan dengan mengucapkan kalimat-kalimat nasihat, mendorong saudara dan teman untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Menasehati untuk bersabar dalam menjalankan ibadah. Sabar dalam menuntut ilmu dan menghadapi tantangan kehidupan.

Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa waktu itu adalah amanah Allah yang diembankan kepada manusia. Kita pasti akan pasti akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Simak sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam ini: “Tidak akan beranjak kaki seorang hamba di akhirat kecuali setelah ditanya tentang empat perkara; ditanyakan tentang umurnya lalu bagaimana ia menggunakannya dan ditanyakan kepadanya tentang ilmu yang didapatkannya lalu apa yang dilakukannya dengan ilmu tersebut, ditanyakan kepadanya tentang harta yang ia dapatkan dari mana ia mendapatkannya dan kemana harta itu dibelanjakan dan ditanyakan kepadanya tentang jasadnya lalu kemana dipergunakannya.” (HR.Tirmidzi, hadis shohih).

Pantas saja Imam Fakhruddin al-Razi begitu menghargai waktu setinggi-tingginya. Tiada celah sedikitpun ia berikan untuk hal-hal yang tidak berguna. Ia pernah mengatakan: “Demi Allah, sungguh aku sedih karena kehilangan banyak waktu kesempatan mempelajari ilmu di saat makan. Sesungguhnya waktu dan zaman itu mulya.”

Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya
Meraih Kedekatan dengan Rasul
MESKI jarak waktu yang tidak kurang dari 15 abad menjadi pemisah antara kehidupan kita saat ini dengan kehidupan di masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam, namun beliau tidak menutup pintu dan kesempatan bagi siapa saja untuk bisa memperoleh kedudukan yang dekat dengan beliau pada hari kiamat.

Ada empat hal yang harus kita lakukan untuk meraih kedudukan yang dekat dengan beliau.

Pertama, memperbanyak membaca shalawat. Membaca shalawat kepada nabi merupakan suatu amalan yang istimewa. Keistimewaan itu nampak dengan keikutsertaan Allah dan para Malaikat-Nya untuk turut membacanya. (QS. Al-Ahzab : 56).

Dalam sabdanya, Nabi mengatakan, “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali shalawat dengan penuh ikhlas dari lubuk hatinya,” maka kata nabi ada empat keistimewaan pada orang tersebut. Yaitu, “1. Allah memberikan sepuluh rahmat 2. Mengangkat derajatnya hingga sepuluh derajat 3. Menuliskan sepuluh kebaikan untuknya 4. Menghapus sepuluh dosa keburukannya.” (HR. Bukhari, Nasa`i dan Al Bazzar).

Ketika kita banyak membaca shalawat, kans untuk mendapatkan tempat terhormat, bersanding, dan duduk di dekat Rasululah pada hari kiamat, sangat terbuka lebar. “Sesungguhnya orang yang paling terdekat (utama) kepadaku nanti pada hari kiamat adalah siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku,” sabda Nabi yang diriwayatkan Imam Tumrudzi.

Kedua, mengasuh dan mengasihi anak-anak yatim. Berbuat baik terhadap anak yatim/piatu bukanlah sekadar turut membantu menyelesaikan lapar dan dahaga sosialnya. Tetapi, di sisi lain perbuatan itu merasuk ke dalam batin, menenteramkan hati, dan mendamaikan perasaan orang yang memberi perhatian kepada mereka.

Amalan ini melahirkan anugerah di hari akhir, yaitu tempat duduknya dekat dengan tempat duduknya Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Nabi sendiri memberikan garansi soal yang satu ini. “Aku dan orang yang mengurus anak yatim di surga bagaikan ini (beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya lalu merenggangkannya).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Inilah amalan kedua untuk membuat kavling kita di hari akhir dekat dengan kavling Baginda Nabi Muhammad Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Oleh karena itu, siapapun yang menginginkan kedudukan mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya, amalan kedua mutlak untuk diamalkan. Caranya, dengan mengasuh, mengasihi, dan memberikan perhatian serta bantuan semampu kita. Jangan menunggu pada momen-momen tertentu saja seperti bulan Muharram atau Ramadhan, namun setiap waktu kita menyempatkan diri untuk berbagi dengan mereka.

Ketiga, penguasa atau pemimpin yang adil, arif, dan bijaksana. Ketika diangkat menjadi khalifah, Sayidina Umar bin Abdul Aziz mendatangi beberapa ulama untuk meminta nasihat.

Salah satu ulama tersebut, Sayidina Hasan Al Bashri, menasihatinya seperti ini, “Anggaplah rakyat seperti ayahmu, saudaramu, dan anakmu. Berbaktilah kepada mereka seperti engkau berbakti pada ayahmu, peliharalah hubungan baik dengan mereka seperti dengan saudaramu, dan sayangilah mereka seperti engkau menyayangi anakmu.” Nasihat ini diingat dan dijalankan dengan baik oleh Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Abdul Aziz khalifah terkenal dengan kehati-hatiannya dalam mengggunakan harta milik rakyatnya, sampai-sampai beliau pernah menutup hidung saat melintas di Baitul Maal yang kala itu sedang merebak bau harum kesturi di sana.

Seorang petugas Baitul Maal terheran-heran dan bertanya, “Wahai khalifah, kenapa engkau menutup hidungmu?” Umar bin Abdul Aziz menjawab, "Aku tak mau memakan harta rakyatku sedikit pun, walau hanya dengan menghirup harum kesturi ini.”

Oleh karenanya, harus ada kesadaran dari seorang pemimpin untuk bersikap adil dan amanat dalam menjalankan roda kepemimpinanya, tidak berat sebelah, memperlakukan masyarakat yang ia pimpin dengan sejajar, tidak timpang, dan tentunya mampu mengangkat kesejahteraan hidup mereka.

Pemimpin yang ideal berarti pemimpin yang adil. Keadilan seorang pemimpin diganjar dengan beragam jaminan. Di antaranya, ia akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat. Selain jaminan naungan, kedudukan seorang pemimpin yang bijaksana adalah memperoleh kedekatan posisi dengan Allah sekaligus Rasul-Nya. Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. bersabda, “Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan tempat duduknya dekat dengan-Nya adalah imam (pemimpin) yang adil.” (HR. Turmudzi).

Perbuatan berikutnya atau keempat yang akan membuat kita memiliki kedudukan dan posisi yang dekat dengan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah mempunyai perangai mulia. Selain membaca shalawat, mengasihi anak-anak yatim, dan menjadi pemimpin yang adil, menghiasi diri dengan keluhuran akhlak dapat menjadi jembatan menuju posisi yang rapat dengan Nabi.

Nabi menegaskan dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Asakir. “Orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku kedudukannya di surga adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang paling aku benci adalah orang-orang yang pongah, sombong, dan takabur.”

Berkat akhlak yang mulia, ada seorang tawanan yang selamat dari pemenggalan. Dalam kitab Kanzul Ummal, disebutkan bahwa Rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memenggal tujuh tawanan yang berhasil ditangkap oleh pasukan Islam. Tidak lama setelah turun perintah Nabi, datanglah Malaikat Jibril menemui Rasul, lalu berkata, “Hai Muhammad, penggallah leher yang enam, tetapi jangan penggal leher kepala yang ini.”

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam bertanya, “Wahai Jibril, mengapa?” Jibril menjawab, “Ia orang yang berakhlak baik, dermawan, dan senang membagi makanan.” Rasulullah bertanya, “Hai Jibril, apakah ini datang darimu atau Tuhanmu?” Jibril berkata, “Tuhanku memerintahkan aku untuk itu.”

Islam menjadikan akhlak sebagai ukuran kesempurnaan agama seseorang. Artinya, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mesti menunjukkan akhlak dalam kesehariannya. Baik di jalan, pada saat berkendara, di rumah, saat makan dan minum, di kantor, kampus, di mananpun, ia akan mendahulukan akhlak.

Diutusnya Nabi ke muka bumi membawa misi menyempurnakan akhlak. Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, “Ya Rasul, apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, “Akhlak yang baik.”

Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Beliau bersabda, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dari sebelah kirinya, “Apa agama itu?” Beliau menjawab, “Akhlak yang baik.”

Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dari belakang dan bertanya, “Apa agama itu?” Rasululah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? (Agama itu akhlak yang baik) Sebagai missal, janganlah engkau marah.”

Momentum peringatan maulid sangat pas dijadikan ajang introspeksi diri apakah selama ini diri kita sudah benar-benar menedalani akhlak Nabi? Ataukah ada yang salah pada diri kita dalam memperingati kelahiran Nabi, sehingga kita melupakan ajaran ajaran adi luhung yang telah dipraktekkan oleh beliau selama hayatnya?

Kelahiran Nabi seharusnya tidak hanya diperingati dengan peringatan yang sekadar tradisi yang terulang di tiap musim, setiap tahun sekali. Namun ia merupakan tradisi yang diadakan sebagai alat menghidupkan ajaran nabi di rumah kita, masyarakat kita, tempat kita bekerja. Apalah artinya memperingati maulid tanpa ada keseriusan menghayati dan membumikan perangai kesantunan dalam kehidupan. Wallahu A`lam Bis Shawab.*

Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota Malang
5 Calon Penghuni Neraka
MISI Rasulullah adalah memberi kabar gembira dan peringatan bagi seluruh umat manusia, tanpa terkecuali (QS. Saba’: 28). Oleh karenanya, kita menemukan sangat banyak hadits yang berisi kabar gembira seperti jaminan kemenangan Islam dan keindahan surga; atau berisi peringatan seperti pasti hancurnya kebatilan dan kengerian neraka. Sebagian hadits beliau bahkan memberikan rincian cukup detil, sehingga semakin mudah diamalkan.

Di antara rincian detil yang pernah beliau ungkapkan adalah ciri-ciri calon penghuni neraka. Dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Iyadh bin Himar al-Mujasyi’ie, diantaranya beliau menyebutkan sifat lima golongan yang kelak akan menjadi penghuni neraka. Mari kita teliti satu per satu, semoga kita bisa mengintrospeksi diri dan menghindarinya.

Pertama, orang lemah yang tidak berakal. Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, yang dimaksud adalah orang yang tidak memiliki akal yang bisa mencegahnya dari segala sesuatu yang tidak pantas. Dalam Mirqatul Mafatih, Mulla ‘Ali Al-Qari menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak punya keinginan selain memenuhi isi perutnya dengan segala cara, tidak perduli halal maupun haram. Keinginan terbesar mereka tidak pernah beranjak naik dari tingkatan hewani ini, baik dalam urusan agama maupun duniawinya. Perkara ini senada dengan firman Allah:

ذَلِكَ مَبْلَغُهُم مِّنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَى

“Maka berpalinglah engkau (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan dia tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Najm: 30).

Kedua, pengkhianat. Teks haditsnya menjelaskan bahwa orang ini memang tidak tampak nyata sifat khianatnya, namun dia punya keinginan ke arah sana. Jika ada kesempatan, meskipun sangat kecil, niscaya dia akan berkhianat juga. Na’udzu billah. Oleh karenanya, Rasulullah pernah menyatakan bahwa satu diantara tiga tanda orang munafik adalah suka berkhianat. Allah juga pernah menyinggung sifat orang semacam ini dalam firman-Nya:

وَلاَ تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنفُسَهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ خَوَّاناً أَثِيماً
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً

“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa. Mereka bisa bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah, dan Allah beserta mereka ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa': 107-108).

Ketiga, penipu. Dalam hadits itu disebutkan: “Seseorang yang tidak memasuki waktu pagi maupun sore melainkan ia pasti menipumu, baik dalam urusan hartamu maupun keluargamu.” Tidak salah lagi, orang ini pasti penipu tulen, tembus dari permukaan kulit sampai tulang sungsumnya! Bayangkan, tidak pagi tidak sore, pekerjaannya melulu hanya menipu, menipu, dan menipu, dalam segala hal. Adakah kebaikan yang bisa diharapkan darinya? Apakah Allah bersedia mengasihi dan menghindarkan orang semacam ini dari neraka?

Keempat, pembohong atau orang pelit. Sebagian riwayat menyebut “pembohong”, sedangkan riwayat lainnya menyitir “orang pelit”. Mana pun dari keduanya yang tepat, sama saja buruknya. Dikatakan dalam sebuah hadits: “Ada tiga hal yang membuat (seseorang) binasa, yaitu sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diperturutkan, dan ketakjubannya pada diri sendiri.” (Riwayat al-Bazzar dan al-Baihaqi, dengan sanad hasan li-ghairihi). Adapun tentang berbohong, kita sudah diberitahu bahwa ia adalah satu diantara tiga ciri kemunafikan. Padahal, Allah telah menyatakan bahwa orang munafik kelak akan berada di kerak neraka, yakni yang paling dahsyat siksaannya (QS. an-Nisa’: 145). Na’udzu billah.

Kelima, orang yang berakhlak buruk dan banyak berkata/berbuat keji. Tidak sedikit ayat atau hadits yang menganjurkan akhlak terpuji, dan sebaliknya melarang dari akhlak tercela. Bentuknya bisa bermacam-macam, karena memang variasinya pun sangat luas. Maka, ketika menggambarkan sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Anas bin Malik berkata, “Beliau bukanlah orang yang suka mencaci, bukan orang yang suka berkata/berbuat kotor, dan bukan pula orang yang suka melaknat.” (Riwayat Bukhari).
Diceritakan pula bahwa ada seseorang yang mencela Usamah bin Zaid dengan celaan yang sangat buruk. Ketika itulah Usamah berkata, “Sungguh engkau telah menyakitiku. Sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwasannya Allah membenci orang yang keji dan suka berkata/berbuat keji. Dan sungguh, engkau ini orang yang keji dan suka berkata/berbuat keji.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban. Hadits hasan).

Bila logikanya kita balik, kelima sifat diatas bisa diperjelas oleh hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairah: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang apa yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga? Beliau menjawab, “Ketakwaan dan akhlak yang baik.” (Riwayat al-Hakim. Menurut adz-Dzahabi: hadits shahih). Maksudnya, kelima sifat diatas seluruhnya merupakan kebalikan dari ketakwaan dan akhlak mulia, yaitu: tidak berpegang pada nilai-nilai kebajikan, suka menipu, gemar berkhianat, pembohong, pelit, dan banyak berbuat keji; sehingga buahnya pun berkebalikan dari surga, yaitu neraka. Semoga Allah membimbing kita semua untuk menjauhinya. Amin. Wallahu a’lam